-->

Panggone ngopi, ngeteh, nyoklat, lan nyusu. Nongkrong asik isi dompet tak terusik.

Saturday, 15 April 2017

Sejarah Konsumsi Susu Sapi


Baru-baru ini, tim ilmuwan dari Universitas York, Oklahoma dan Copenhagen, dan University College London (UCL), telah menemukan bukti baru yang mampu menjawab tentang plak gigi pada fosil gigi manusia purba. Mereka menghubungkan bukti konsumsi pada individu dan ternak, dimana dalam penelitian sebelumnya telah menggunakan garis tidak langsung. 
Mutasi menyebabkan enzim laktase usus yang mencerna laktosa susu selama masa bayi, enzim terus diproduksi setelah penyapihan. Tetapi dalam beberapa kasus, laktosa tidak dapat dicerna dengan baik dan dapat menyebabkan diare atau gejala lain intoleransi laktosa yang dihasilkan dari gas fermentasi bakteri usus. Beberapa produk susu seperti Yoghurt dan keju telah mengalami pengurangan kandungan laktosa melalui pengolahan. Seperti halnya keju, laktosa dipisahkan melalui dadih (whey), dimana dadih sering diberikan pada babi dan hewan lainnya. 
Jessica Hendy dari University of York's BioArCh mengatakan, beta-laktoglobulin merupakan protein dominan pada dadih (whey) yang digunakan binaragawan untuk membangun otot, hal ini menandakan adanya konsumsi susu dan ternak sapi di masa lalu. Ilmuwan terus mencari urutan beta-laktoglobulin yang bisa saja terkontaminasi pada manusia modern. Tetapi setelah mengulangi analisis beberapa kali di laboratorium berbeda tiga negara, analisis menghasilkan data yang sama. 
Menurut Dr Christina Warinner dari University of Oklahoma, penelitian ini berimplikasi dalam memahami hubungan antara diet manusia dan evolusi produk susu sebagai inovasi makanan pasca-Neolitik. Sebagian besar penduduk dunia tidak mampu mencerna laktosa dan sering mengalami gejala intoleransi laktosa. Beberapa ribu tahun lalu, mutasi genetik muncul di Eropa, Afrika Timur, dan Semenanjung Arab yang memungkinkan laktase bertahan sampai dewasa, sifat genetik memungkinkan konsumsi susu seumur hidup. 
Penelitian ini memberi bukti protein diperoleh langsung dari susu sapi, domba, dan kambing. Dadih, sebagai produk susu dikonsumsi manusia setidaknya sejak 5000 tahun lalu. Hipotesis ini diperkuat dengan bukti isotop sebelumnya pada lemak susu yang diidentifikasi pada tembikar dan peralatan masak masyarakat awal. Sampai saat ini sulit untuk menyelidiki kedua adaptasi susu dalam genetik manusia, dan sebagian bukti arkeologi sangat buruk.
Penemuan protein susu dalam gigi manusia memungkinkan ilmuwan untuk menyatukan bukti dan membandingkan sifat genetik serta perilaku budaya tertentu yang hidup ribuan tahun yang lalu. Bukti langsung adanya konsumsi susu diawetkan dalam plak gigi manusia dari Zaman Perunggu sampai sekarang. 
Beberapa temuan tidak ditemukan bukti protein susu pada fosil orang Afrika Barat abad ke-19, dimana wilayah ini jarang menghasilkan susu. Tetapi ilmuwan menemukan bukti adanya konsumsi susu di situs Eropa periode 5000 tahun lalu.
Menurut Dr Camilla Speller, sebagian besar bukti molekuler konsumsi susu sebelumnya berasal dari residu keramik. Sementara residu pot membuktikan bahwa masyarakat pada waktu itu menggunakan dan mengolah produk susu, tetapi bukti ini tidak membuktikan konsumsi susu secara individu. Untuk pertama kalinya, para ilmuwan bisa menghubungkan konsumsi susu pada kerangka tertentu dan mencari jawaban tentang sumber daya susu sapi sebagai nutrisi penting. 
Protein susu beta laktoglobulin-juga merupakan bukti sangat penting karena mengandung varian yang memungkinkan ternak penghasil susu, sehingga bisa membagi beberapa jenis ternak yang dikembangkan pada waktu itu. Ilmuwan menemukan bukti bahwa konsumsi susu sapi dan susu domba merupakan hal yang dominan pada Zaman Perunggu Awal, sedangkan konsumsi susu kambing terbatas pada Zaman Perunggu di Italia Utara.

Referensi : 
Ancient dental plaque: a 'whey' into our milk drinking past?, 26 November 2014, by University of York via AlphaGalileo. Woman hand milking a cow, public domain via Wikimedia Commons.
Journal Ref: Direct evidence of milk consumption from ancient human dental calculus. Scientific Reports, 2014; 4: 7104 DOI: 10.1038/srep07104

Sumber : http://www.isains.com

Previous
Next Post »

Post a Comment